Rabu, 19 Oktober 2011

Pengemis di Bulan Ramadhan


Profesi Pengemis Musiman di Bulan Ramadhan

Menjelang Ramadhan biasanya akan semakin banyak jumlah pengemis yang bertebaran. Tahun sebelumnya di daerah Tangerang Selatan banyak sekali pemulung, pengemis, dan pembawa gerobak berduyun-duyun di jalanan. Apalagi menjelang berbuka puasa biasanya mereka berbaris berteduh dibawah pohon di tepi jalan berbaris dengan rapih seolah di komandoi seseorang mereka berbaris bershaf-shaf dan duduk berdampingan, bersebelahan mengisi setiap kekosongan rongga-rongga lahan yang tak ditanami pepohonan, sudah barang tentu sisi jalan pun penuh pula dengan gerobak yang di parkir. Belum lagi di daerah Jakarta dan Kota besar lainnya. Mereka biasanya berpenampilan layaknya pengemis dengan berpenampilan compang-camping. Bahkan terkadang ada yang sengaja membuat luka buatan dengan segala rupa cara. Tidak bermaksud apa-apa tapi hasil penelusuran beberapa pewarta berita adalah demikian.
Ditengah himpitan ekonomi yang semakin menjadi, maka sudah dapat di perkirakan jumlah kemiskinan yang semakin meningkat akan terlihat dengan bertambahnya jumlah pengemis musiman yang datang ke Jakarta. Belum ada penanganan khusus yang bisa menyelesaikan permasalahan pengemis musiman. Dikembalikan pun mereka akan berusaha memanfaatkan bulan penuh rahmat dan berkah bagi mereka pengemis musiman.
Saat ini rasanya mengemis di Indonesia adalah sebuah profesi, maka ada baiknya bagi kita untuk selektif memberikan uang. Bahkan pelaksanaan perda pelarangan memberikan sedekah kepada pengemis di jalanan rasanya sulit untuk di laksanakan. Orang Indonesia tidak akan taat jika dilarang untuk melakukan kebaikan. Mungkin akan lebih baik jika kita memberikan barang yang mereka butuhkan saja bukan berupa uang. Tapi adakalanya juga untuk berhati-hati karena ada juga pengemis yang mengumpat setelah diberi nasi atau bahkan nasinya dibuang percuma. Padahal niat baik untuk memberikan makanan karena biasanya pengemis mengemis untuk makan. Bikin miris dan sakit hati. Sudah di beri malah mengumpat tak karuan.
Bahkan tak dipungkiri konon ada beberapa pengemis yg memiliki sawah dan kendaraan dikampungnya. Mungkin saja pengemis tersebut bisa jadi lebih kaya dari pada orang yang selalu bersedekah memberi uang. Sawah dan ladang adalah sebuah harta yang tak terkira nilainya. Uang satu Juta setiap bulan rasanya bisa didapatkan jika di kumpulkan dari beberapa perempatan lampu merah jalanan. Pengemis memiliki Handphone saja sudah tidak aneh saat ini karena penghasilan mereka yang cukup besar.
Bagi mereka yang hendak bersedekah rasanya akan lebih baik disalurkan pada yayasan-yayasan atau lembaga sosial lainnya. Ini termasuk sebuah pendidikan terhadap saudara kita, terutama bagi mereka yang terlalu cepat mengambil keputusan untuk mengemis dengan dalih kemiskinan.
Bagi seluruh umat muslim dan muslimah, bulan ramadhan adalah bulan dimana mereka berlomba-lomba mencari amal ibadah. Karenanya, orang tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk amal, sedekah, dan memberikan sedikit sumbangan.

Memang dalam agama, berbagi dan menolong sesama sangat dianjurkan, tetapi justru peluang itu diambil oleh para sindikat pengemis dikota-kota besar terutama di Jakarta.

Tidak heran lagi melihat orang lumpuh, luka parah, korengan, bahkan buta digotong oleh orang yang sehat bugar wal afiat.

Coba berpikirlah sejenak, seharusnya orang yang sehat dan bugar tersebutlah yang memberikan makan buat orang yang dibawanya itu. Secara logika adalah bila itu adalah keluarganya, apakah mereka tidak kasihan?, dibawa jalan jauh, didorong ditengah debu polusi yang panas.

Menjelang ramadhan ini sudah bisa dipastikan, pengemis akan bertaburan dimana-mana. Entah itu anak-anak, ibu menggendong bayi atau orang lanjut usia.

Aatau cobalah melihat gerobak mereka, dibuat dari bahan kayu kaso yang dicat kemudian ditambah dengan roda. Itulah yang mereka harus keluarkan sebagai modal dasar dagang mereka untuk meraup keuntungan.



DISUSUPI SINDIKAT

Kita yang dengan niat beramal, bagi para pengemis di Jakarta adalah bisnis yang menguntungkan. Bahkan dengan sangat mudah, karena hanya menjulurkan tangan saja.

Alasan klise selalu mereka bawa. Di Jakarta mencari pekerjaan sulit. Padahal sejatinya mereka malas melakukan sesuatu.

Padahal, niat mengemis tersebut ternyata sudah direncanakan oleh oknum tertentu. Para sindikat sengaja membentuk jaringan pengemis.

Mereka sengaja mendatangkan pengemis dari luar jakarta. Mereka terkoordinir dan disebar di beberapa titik, seperti di perempatan lampu merah atau di sekitar tempat ibadah.

Para pengemis itu selalu diawasi. Dan dari hasil yang ia dapat, sebagian wajib disetor ke coordinator mereka.

Dari hasil penelusuran Jakartapress.com di beberapa titik, para pengemis saat bulan Ramadhan memang lebih banyak dari hari biasanya.

Dan ketika mengorek keterangan dari salah seorang pengemis di pertigaan Jl Sultan Agung, Manggarai Jakarta Selatan, sindikasi itu memang benar adanya.

“Hasil kita ngemis, bukan semuanya milik kita,” ujarnya.

Menurut mereka, sebagian hasil mengemis harus disetorkan kepada seseorang. Tujuannya, agar mereka aman dan bila terjadi razia, orang yang mereka sebut Abang itu yang akan bertanggung jawab.

Tiap harinya, mereka bisa mendapatkan Rp 40-60 ribu dari hasil mengemis. Dari nilai itu, separonya wajib disetorkan.


ada tambahan nihhdari agan marcellgroove
berikut kata doi   http://static.kaskus.us/images/smilies/sumbangan/14.gifhttp://static.kaskus.us/images/smilies/sumbangan/14.gif

Originally Posted by marcellgroove View 
Post
Sebagai bahan pertimbangan aja nih


Dikenal Desa Pengemis, Warga Mampu Sekolahkan Anak ke Kedokteran
Moh Hartono - detikSurabaya


Salah satu rumah pengemis/M Hartono
Sumenep - Kekhasan budaya berbingkai nilai-nilai agama yang sudah disandang masyarakat Madura secara umum terkadang menampakkan kenyataan hidup yang ironi.

Pekerja keras dan tanpa menyerah dalam kondisi apapun dan di manapun sudah bukan rahasia lagi. Namun berbeda dengan kenyataan yang disandang warga Desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Sumenep.

Desa yang terletak 45 Km dari kota ke arah barat itu berpenduduk 3.500 kepala keluarga (KK) atau 9.567 jiwa. Dari jumlah penduduk yang ada itu, 80 persen menjadi pengemis (peminta-minta).

Tak ayal, jika desa itu mendapat julukan kampung pengemis dan menjadi pusat perhatian para peneliti, akademisi dan media massa meski tidak semudah yang dibayangkan untuk masuk ke desa tersebut.

Setiap orang yang masuk perkampungan pengemis itu tidak akan percaya bila warganya menjadi pengemis. Selain tidak ada rumah gedek (Rumah anyaman bambu), kendaraan sepeda motor juga ramai terlihat lalu lalang.

Meski rumah warga satu dengan yang lain berjarak antara 10 meter hingga 20 meter, namun terlihat rumah berukuran besar dan kokoh dilengkapi antena parabola, lantai keramik lengkap dengan berbagai macam hiasan sudah bukan barang langka dan asing lagi.

Akses jalan desa yang menjadi penghubung dengan desa tetangga juga beraspal, kecuali jalan penghubung kampung di desa itu yang masih jalan makadam dan sulit dijangkau dengan mobil mewah.

Untuk ukuran desa di Sumenep, kondisi Desa Pragaan Daya sudah maju. Program pemerintah sudah masuk dan aktivitas masyarakat seperti layaknya warga desa tetangga.

Satu dari penduduk desa pengemis, Ny Halimah (46) yang kesehariannya menjadi peminta-minta di Kota Sumenep sudah memiliki 4 ekor sapi. Dia memiliki rumah yang selesai dibangun 3 tahun silam lengkap dengan perabotan mewah.

Meski sudah tergolong kelas ekonomi menengah untuk ukuran desa, namun Ny Halimah mengaku tidak bisa meninggalkan profesinya sebagai penerima sedekah dari orang lain yang sudah turun temurun dilakukan.

Banyak alasan yang dikemukakan. Selain tidak memiliki lahan pertanian yang cukup hingga tidak mempunyai skill yang bisa menghasilkan menutupi kebutuhan hidupnya.

"Saya tidak mempunyai pekerjaan lagi, kecuali menerima sedekah dari orang lain. Dan ini pekerjaan yang telah turun-temurun dan tidak mungkin ditinggalkan," kata Halimah kepada detiksurabaya.com di rumahnya, Kamis (20/8/2009).

Dalam pandangannya, uang hasil meminta-minta itu adalah rezeki halal karena uang itu diberikan oleh si empunya secara ikhlas.

"Kalau tidak ikhlas tidak mungkin diberikan pada saya. Jadi, pemberian orang itu adalah sedekah yang tidak ada salahnya bila diterima," ujarnya.

Menurut dia, warga Desa Pragaan Daya yang meminta-minta tidak hanya dilakukan di wilayah Madura, mereka yang masih sehat dan mempunyai kemampuan untuk datang ke daerah lain, biasanya banyak mengemis di Jawa Barat, Bandung, Jakarta dan DKI.

Bahkan, ada yang merantau hingga Kalimantan dan Malaysia. Namun bagi yang sudah tua, daerah yang biasa didatangi hanya Kota Surabaya dan kota lain di Jawa Timur.

Tidak sedikit bagi mereka yang mengemis di luar Madura mempunyai kemampuan lebih. Bahkan, ada yang menyandang predikat haji atau telah mampu melaksanakan rukun Islam yang kelima dari hasil mengemis.

"Kalau sudah jadi pak haji baru berhenti, tinggal anak-anaknya yang melanjutkan pekerjaan menerima sedekah itu," katanya seraya menolak menyebutkan identitas orang yang dimaksud.

Sementara Sekretaris Desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Sumenep, Moh Haruji Saleh mengaku tidak risau dengan predikat desa pengemis. "Ini sudah bagian dari kehidupan warga kami sehingga harus menyandang predikat kampung pengemis. Ya tidak apa-apa," ujar Haruji kepada detiksurabaya.com di rumahnya.

Dia mengaku sudah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan kebiasaan meminta-minta namun menemui kesulitan. Selain mereka tidak mempunyai pekerjaan lain, juga ada sebagian yang memang tidak mempunyai lahan pertanian.

"Usaha yang bisa dilakukan hanya dengan memutus mata rantai menjadi pengemis. Para kawula mudanya jangan sampai ikut mewarisi profesi orang tuanya itu," terangnya.

Para kawula muda, kata dia, pendidikannya sudah banyak yang masuk perguruan tinggi. Bahkan, ada yang masuk di fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi di Jember. Meski diakui jika biaya untuk menyekolahkan itu dari hasil mengemis, bukan berarti harus menjalankan profesi orang tuanya.
NAMA: RUDIANSYAH HADI PUTRA, KELAS: 1 KB 04, NMP: 26111483



Tidak ada komentar:

Posting Komentar